Dalam dunia perpajakan Indonesia, Pajak Progresif menjadi sorotan penting. Pajak ini, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), memiliki dampak signifikan pada keseimbangan ekonomi dan keadilan. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang konsep Pajak Progresif.
Apa itu Pajak Progresif?
Pajak progresif adalah jenis pajak yang tarifnya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah atau nilai objek pajak yang bersangkutan. Dalam konteks ini, semakin tinggi pendapatan atau nilai objek pajak, semakin tinggi pula persentase pajak yang dikenakan. Pajak progresif biasanya diterapkan untuk mencapai prinsip keadilan pajak, di mana mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi membayar proporsi pajak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih rendah. Prinsip ini bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dalam masyarakat. Contoh umum dari pajak progresif adalah Pajak Penghasilan (PPh) di mana tarif pajak meningkat seiring dengan peningkatan tingkat pendapatan.
Dalam praktiknya, terdapat dua bentuk pajak progresif yang berlaku, yakni Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Pada kesempatan ini, penjelasan lebih lanjut akan difokuskan pada pajak progresif kendaraan bermotor.
Baca juga: Perbedaan Pajak dan Retribusi: Biar Gak Bete dengan Bayar-bayar!
Kapan kita dikenakan pajak progresif?
Pajak progresif dikenakan pada situasi atau kondisi di mana ada peningkatan skala tarif pajak seiring dengan pertambahan jumlah atau nilai dari objek pajak yang bersangkutan. Dalam konteks umum, pajak progresif seringkali diterapkan pada pendapatan individu atau kepemilikan aset tertentu, di mana tarif pajaknya meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah pendapatan atau nilai aset. Pada dasarnya, semakin tinggi pendapatan atau nilai aset, semakin tinggi pula tarif pajak yang dikenakan.
Baca Juga: Apa itu SPTPD?
Dasar Hukum
Dasar hukum yang menjadi landasan bagi penerapan pajak progresif ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam UU ini dijelaskan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor yang jumlahnya lebih dari satu, atau kepemilikan kendaraan kedua, untuk tujuan pembayaran pajak dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
- Kepemilikan kendaraan dengan roda kurang dari empat.
- Kepemilikan kendaraan dengan roda empat.
- Kepemilikan kendaraan dengan roda lebih dari empat.
Dengan demikian, dalam situasi di mana seorang Wajib Pajak memiliki satu mobil, satu motor, dan satu truk di dalam satu rumah, dan semua jenis kendaraan tersebut terdaftar atas nama pribadi, masing-masing kendaraan akan ditetapkan sebagai kepemilikan pertama karena perbedaan jenis kendaraan. Oleh karena itu, secara otomatis akan dikenakan pajak progresif pertama.
Baca juga: Mengenal Konsultan Pajak: Panduan Praktis yang Mudah Dipahami
Tarif Pajak Progresif
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009, Pasal 6 mengatur ketentuan tarif pajak progresif untuk kendaraan bermotor sebagai berikut:
- Kepemilikan kendaraan bermotor pertama akan dikenakan biaya sebesar minimal 1% (satu persen) dan maksimal 2% (dua persen).
- Kepemilikan kendaraan bermotor kedua, ketiga, dan seterusnya akan dikenakan tarif pajak progresif antara 2% (dua persen) hingga 10% (sepuluh persen).
Meskipun tarif telah ditetapkan, setiap daerah memiliki kewenangan untuk menentukan tarif pajak progresif sendiri, dengan syarat tarif yang ditetapkan tidak boleh melebihi rentang tarif yang telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang (UU) No.28 Tahun 2009.
Contoh Tarif Pajak Progresif
Perlu diperhatikan bahwa dasar perhitungan pajak harus berdasarkan dua elemen pada kendaraan.
Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB):
NJKB bukanlah harga pasar umum, melainkan nilai yang ditetapkan oleh Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah), yang sebelumnya diperoleh dari data Agen Pemegang Merek (APM).
Efek negatif akibat pemakaian kendaraan untuk mencerminkan tingkat kerusakan jalan:
Biasanya dinyatakan dalam bentuk koefisien dengan nilai satu atau lebih.
Untuk menghitung pajak progresif, langkah awal adalah mencari NJKB kendaraan. NJKB dapat dihitung dengan rumus: (PKB/2) x 100. Nilai PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dapat ditemukan di bagian belakang lembar STNK.
Setelah menemukan NJKB, kalikan dengan persentase pajak progresif sesuai dengan urutan kepemilikan kendaraan. Selanjutnya, tentukan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) untuk mendapatkan nilai pajak progresif setiap kendaraan.
Baca juga: Apa Itu SPT Pajak: Pengertian dan Pelaporannya
Cara Menghitung Pajak Progresif
Apabila Anda memiliki 4 mobil dengan merek yang sama yang dibeli pada tahun yang sama, dan STNK mencatat PKB mobil sebesar Rp 1.500.000 serta SWDKLLJ sejumlah Rp 150.000, maka NJKB mobil Anda dapat dihitung sebagai berikut:
NJKB: (PKB/2) x 100 = (Rp 1.500.000/2) x 100 = Rp 75.000.000
Setelah menemukan nilai NJKB, perhitungan pajak progresif untuk setiap kendaraan dimulai dari mobil pertama hingga keempat, dengan rincian sebagai berikut:
Mobil Pertama:
- PKB: Rp 75.000.000 x 2% = Rp 1.500.000
- SWDKLLJ: Rp 150.000
- Pajak: Rp 1.500.000 + Rp 150.000 = Rp 1.650.000
Mobil Kedua:
- PKB: Rp 75.000.000 x 2,5% = Rp 1.875.000
- SWDKLLJ: Rp 150.000
- Pajak: Rp 1.875.000 + Rp 150.000 = Rp 2.025.000
Mobil Ketiga:
- PKB: Rp 75.000.000 x 3% = Rp 2.250.000
- SWDKLLJ: Rp 150.000
- Pajak: Rp 2.250.000 + Rp 150.000 = Rp 2.400.000
Mobil Keempat:
- PKB: Rp 75.000.000 x 3,5% = Rp 2.625.000
- SWDKLLJ: Rp 150.000
- Pajak: Rp 2.625.000 + Rp 150.000 = Rp 2.775.000
Cara ini dapat diterapkan untuk menghitung pajak mobil kelima, keenam, dan seterusnya hingga mencapai nilai persentase 10%. Dengan perhitungan ini, dapat diobservasi bahwa nilai pajak meningkat seiring dengan penambahan jumlah kendaraan bermotor. Selain itu, NJKB dan SWDKLLJ juga menentukan biaya yang harus dibayarkan.
Masih bingung cara hitung pajak? Konsultasikan kebutuhan perpajakan Anda dengan jasa konsultan pajak online dari IZIN.co.id. Hubungi kami sekarang